Jam Karet

jam

Pernah menghadiri rapat yang dijadwalkan mulainya jam sekian tapi baru dimulai 30 menit sampai 1 jam dari waktu yang ditentukan? Pernah?

Sering!

Orang Indonesia itu identik dengan budaya jam karetnya, istilah jam karet begitu populer, hingga orang-orang begitu bangga jika di belakang namanya ditambahkan istilah begitu.

Sekali dua kali, telat itu masih wajar tapi jika dilakukan berulang-ulang masih bisakah disebut sebagai kewajaran?

Sepertinya saya bisa membagi si jam karet ini menjadi 3 tipe:

1. Jadi jam karet karena memang berbakat, melakukan berulang-ulang terus jadi habit.

2. Jadi jam karet karena ikut-ikutan orang tipe 1. Orang seperti ini prinsip telatnya biasanya:

“Ngapain datang tepat waktu, toh kita bakal nungguin mereka yang bakal telat.”

“Buang-buang waktu datang tepat waktu, acaranya juga bakal molor dari yang sudah dijadwalkan.”

3. Orang yang berpotensi jadi jam karet karena keseringan di PHP-in sama si tipe 1 dan 2. Janjian jam berapa datang jam berapa. Dijadwal jam berapa mulainya jadi jam berapa. Tidak tanggung-tanggung pula si tipe 1 dan 2 ini telatnya lebih dari 30 menit. Ngebuat si tipe 3 ini jadi kesal, kecewa bahkan muak.

Sebagai si tipe 3 saya sering mendengar curhatan tipe 3 lainnya. Di banyak rapat saya dan beberapa teman saya yang menganut prinsip bahwa telat itu membuat tidak nyaman sering sekali merasa kecewa, karena banyak sekali anggota rapat yang datang telat. Bukan 1 atau 2, tapi banyak, banyak sekali. Sebagai kaum minoritas yang datang tepat waktu, mengorbankan sarapannya agar tidak telat suara kekecewaan kami tidak terdengar. Saking kecewanya, si tipe 3 ini biasanya tidak akan begitu antusias lagi dalam rapat tersebut, terlanjur kecewa katanya. Belum lagi waktu rapat jadi lebih lama dari yang seharusnya karena waktu mulainya molor. Parahnya, mereka si jam karet ini terlihat tidak merasa bersalah karena sudah telat. Lebih parah lagi saat mereka tanpa rasa bersalah mengungkapkan alasan tak pentingnya.

Tau gak ada loh teman-teman kalian yang melewatkan waktu makan siangnya, melewatkan menjemur pakaiannya, melewatkan membuat PRnya, melewatkan membuat tugasnya hanya untuk menghargai waktu kamu, lebih tepatnya waktu kita, tapi kamu dengan santainya datang setelah membuat dia menunggumu?

Beberapa kali mereka bisa memaklumi, berprasangka baik malah, bahwa mungkin kamu ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga kamu telat. Tapi, kamu melakukannya terus menerus, lagi dan lagi.

Kamu pernah dengar peribahasa, “waktu adalah uang” kan?

Bagi kamu, waktumu berharga kan? Lalu apakah waktu orang lain tidak berharga?

Kita tidak pernah benar-benar tau apa yang orang lain korbankan hanya untuk datang tepat waktu, menghargai waktunya sendiri, menghargai waktumu juga. Bisa jadi dia kebut-kebutan datang ke tempat pertemuan untuk menepati janjinya. Bisa jadi dia kehilangan kesempatan bertemu dengan orang yang dia jarang temui hanya untuk menepati janjinya padamu. Bisa jadi dia kehilangan makan siangnya, lalu menahan laparnya selama rapat hanya karena dia merasa dia sudah berjanji padamu. Bisa jadi dia mengundur waktu mencuci atau menjemur pakainnya karena dia sudah berjanji padamu, jika waktu molormu dia pakai mencuci atau menjemur selesai rapat mungkin bajunya sudah kering. Mungkin baju itu penting dan akan dipakai segera, tapi karena dia meninggalkannya karena janjinya padamu baju itu tidak kering dan dia bingung harus pakai baju apa.

Sepele ya terbacanya?

Kamu telat, itu hakmu, kami tidak memiliki hak apa-apa terhadap waktumu. Silakan saja telat jika itu memang hanya menyangkut tentangmu, silakan, silakan, gak ada yang larang.

Tapi jika itu menyangkut orang lain, apalagi orang banyak, tolong, tolong untuk tepat waktu. Kita tidak pernah tau apa yang orang lain korbankan untuk menjadi tepat waktu menepati janjinya.

Untuk kamu si tipe 1, silakan telat jika itu hanya menyangkut tentangmu, kalau itu menyangkut orang lain tolong hargai.

Untuk kamu si tipe 2, jika semua orang berpikir sama sepertimu, “ah buat apa datang tepat waktu, acaranya juga bakal tetap telat, kita juga bakal nunggu mereka yang datang telat” apa menurutmu yang akan terjadi? Siapa yang bakal datang tepat waktu jika semua orang berpikir seperti itu? Lalu apa bedanya kamu dengan orang yang buat kamu berpikiran begitu? Sama-sama telat, sama-sama ngeselin, terus apa bedanya?

Untuk kamu si tipe 3, terima kasih atas penghargaan yang tinggi terhadap waktu, semoga kamu tetap menjadi orang yang tepat waktu.

Dan sekali lagi, tipe 1 dan 2, setidak-tidaknya:

JANGAN AJAK ORANG LAIN MENJADI SEPERTI KALIAN.

Hal-hal yang terlihat sepele seperti ini bisa menjadi penghambat atas kesuksesan hidupmu juga kan ya? Kamu menyia-nyiakan waktu orang lain, kalau orang lain marah dan kecewa lalu mendoakan yang tidak-tidak, bagaimana?

Kita tidak pernah tau kebaikan bisa datang dari pintu doa yang mana kan? Bisa dari pemungut barang bekas yang kamu beri banyak botol bekas di rumahmu, bisa dari tukang becak yang kamu belikan nasi bungkus, bisa dari kakek tua penjual sapu yang kamu beli sapunya saat tak ada yang membeli.

Kalau dibalik jadi, kita tidak pernah tau keburukan bisa datang dari pintu doa yang mana kan? Bisa dari orang yang kamu buat kesal karena kamu datang telat, bisa dari orang yang kamu buat kecewa karena dia kehilangan kontrak pentingnya karena janji denganmu molor. Bisa kan?

RRF, Tangerang 4 Agustus 2016.

Sebagai pengingat diri karena berpotensi jadi orang dengan jam karet juga.

 

Tinggalkan komentar